Menteri Bougainville Desak Australia Akui Kemerdekaan dan Tanggung Jawabnya Menurut Perjanjian Damai 2001. - WARTA GLOBAL PAPUA

Mobile Menu

P E N D I D I K A N

Pendaftaran

Klik

More News

logoblog

Menteri Bougainville Desak Australia Akui Kemerdekaan dan Tanggung Jawabnya Menurut Perjanjian Damai 2001.

Jumat, 29 Desember 2023
University of Woollongong Emeritus Professor Ted Wolfers Photo: University of Woollongong


Papua.WARTAGLOBAL.id - Menteri Implementasi Kemerdekaan Bougainville, Ezekiel Massatt, mengecam Australia sebagai "pengecut" terkait isu kemerdekaan Bougainville dalam serangan verbal yang diluncurkannya minggu ini. Massatt menanggapi pernyataan Perdana Menteri Australia, Anthony Albanese, yang menyatakan bahwa isu kemerdekaan Bougainville adalah urusan Papua Nugini.


Bougainville, melalui hasil referendum empat tahun lalu, memperlihatkan keinginannya untuk merdeka dari Papua Nugini, dengan 97,7 persen pemilih mendukung kemerdekaan. Massatt menilai bahwa Australia tidak memenuhi kewajibannya di bawah Perjanjian Perdamaian Bougainville tahun 2001.


Massatt menuduh Menteri Luar Negeri Australia telah menipu pemimpin Bougainville selama Negosiasi Perdamaian, dengan janji bahwa jika Papua Nugini tidak meratifikasi perjanjian tersebut, Australia akan memimpin kecaman internasional terhadap PNG.


Kemarahan Massatt semakin memuncak karena kegagalan mengadakan referendum di Parlemen Papua Nugini pada tahun 2023, yang dianggapnya melanggar Perjanjian Era Kone yang ditandatangani pada April 2022. Menurut perjanjian ini, referendum akan dilaksanakan tahun ini, dan resolusi akhir akan dicapai tidak lebih awal dari tahun 2025 atau lebih lambat dari tahun 2027.


Namun, Menteri Urusan Bougainville dari Papua Nugini, Manasseh Makiba, mengingatkan bahwa hasil referendum tidak mengikat, dan keputusan akhir ada di tangan parlemen nasional. Massatt menanggapi dengan keras, menyatakan bahwa tidak ada ketentuan dalam Perjanjian Damai atau Konstitusi yang menyebutkan bahwa referendum tidak mengikat.


Dalam konteks ini, Profesor Emeritus Bidang Politik dari Universitas Wollongong, Ted Wolfers, mengklarifikasi bahwa Perjanjian Damai menyatakan bahwa hasil referendum akan tunduk pada ratifikasi oleh parlemen nasional, yang berperan sebagai otoritas pengambil keputusan akhir.


Diskusi juga melibatkan isu-isu politik sensitif, seperti jenis kemerdekaan yang dipilih dan batas-batas maritim Bougainville yang mungkin berubah setelah kemerdekaan. Meskipun perdebatan ini masih berlangsung, para birokrat Bougainville menunjukkan pandangan yang berbeda, dengan menganggap hasil referendum sebagai dukungan yang sangat besar untuk merdeka.


Perkembangan selanjutnya dari ketegangan ini masih menjadi fokus perhatian internasional, dengan isu kemerdekaan Bougainville terus menjadi sorotan utama dalam dinamika politik di kawasan Pasifik.


@Red/


KALI DIBACA

Tidak ada komentar:

Posting Komentar